Minggu, 19 Juni 2011

Toleransi beragama dalam Islam

Tiap-tiap agama mempunyai hari raya. Pada prinsipnya, hari raya suatu agama dirayakan oleh masing-masing pemeluknya, sebab motivasi atau titik tolaknya adalah karena keyakinan atau kepercayaan keagamaan yang dianut.

Bertitik tolak dari paham yang demikian, maka di dalam perayaan suatu agama yang di dalamnya terdapat upacara ritual, tidaklah relevan apabila diundang orang lain yang menganut keyakinan atau kepercayaan agama lain untuk turut merayakannya.

Sebagai contoh dapat kita kemukakan tentang hari raya agama Islam. Seperti diketahui, hari raya dalam Islam ada dua, ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Kedua hari raya Islam itu dilakukan dalam bentuk sholat dan khutbah, yang sifatnya ta’abbudi/ritual.

Karenanya tidaklah wajar apabila umat Islam mengundang orang yang menganut agama lain untuk hadir bersama-sama merayakan hari raya itu. Kalaupun ada orang-orang yang dari agama lain ingin turut bersama-sama merayakan hari raya Islam dengan mengerjakan shalat hari raya karena hendak menunjukkan sikap toleransi /tasamuh, tentu setiap individu muslim yang arif akan mencegah yang demikian dengan sikap yang layak dan etis.

Harus dipahamkan perbedaan antara shalat “idul Fithri dengan pertemuan silaturrahim ‘Idul Fithri yang umum dikenal sebagai halal bi halal, atau memperingati satu Muharram, Maulid Nabi, dan Isra’ Mi’raj. Sikap jiwa yang demikian diharapkan pula diterapkan oleh saudara-saudara kita yang beragama lain, baik penganut agama Kristen, Budha, dan Hindu terhadap pemeluk agama Islam.

Apabila umat Islam diundang misalnya, untuk merayakan Hari Natal atau Tahun Baru yang di dalamnya ada pemujaan atas Yesus Kristus atau perayaan agama lainnya yang juga memiliki upacara ritual, tidaklah relevan dengan ajaran keberagamaanpun dengan sendirinya akan menempatkan pihak yang diundang dalam satu posisi yang sulit.

Kalau undangan itu dipenuhinya, akan bertentangan dengan norma-noram aqidah yang menjadi pegangan hidupnya., sebaliknya kalau tidak dihadiri, apalagi karena yang mengundang adalah pimpinan kantor,bos perusahaan, gubernur dan lain-lain, maka khawatir akan dicap atau dianggap tidak memiliki sikap hidup kerukunan atau toleransi.

Dalam hubungan ini perlu kita kutip petunjuk yang pernah dikeluarkan oleh eks Mentri Agama Alm. Munawir Syazali tentang pedoman penyiaran agama No.70 tahun 1978. Inti edaran tersebut, ialah peringatan hari besar keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan sekolah, perguruan tinggi pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agamanya masing-masing.

Karenanya, hendaknya jangan ada satu pemikiran memberikan kwalifikasi Perayaan Bersama terhadap perayaan keagamaan pemeluk suatu agama. Bagi umat Islam, sudah ada pegangan dan petunjuk yang dituangkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 7 Maret tahun 1981, yang pada pokoknya kaum muslimin tidak diperbolehkan menghadiri perayaan Natal, berdasarkan ajaran aqidah Islam.

Pendirian yang demikian hendaknya jangan sampai diartikan sebagai tidak berusaha menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Dalam rangka menciptakan kerjasama yang memberikan dorongan kerukunan hidup, masih banyak harihari besar bersama dimana penganut bermacam macam agama dapat menggalang dan menunjukkan kesatuan dan kerukunan itu.

Umpamanya,dalam merayakan tujuh belas Agustus, Hari Pahlawan, Hari Sumpah Pemuda, Hari Kesetia Kawanan Sosial, Hari Ibu, dan hari-hari lain yang sifatnya Nasionalis, bukan Agamis. Untuk menciptakan keterpaduan dan kebersamaan dari berbagai macam penganut agama, maka dapat dibentuk satu Panitia Bersama dalam merayakan dan menye-marakkan hari-hari nasioal itu yang pada gilirannya akan tercipta sikap kebangsaan dalam setiap diri, bukan justru merayakan hari-hari keagamaan yang dapat menimbulkan keyakinan abu-abu.

Dalam Islam, telah jelas dan baku dalam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, walau berbeda keyakinan. Banyak ditemukan ayat-ayat Al Quran yang mengajarkan setiap individu muslim bersikap luwes/ fleksibelity, terbuka/open minded, berlapang dada/hostelity dan tasamuh/toleransi, seperti ayat pada muqaddimah di atas, surat Yunus ayat 99, surah al Ankabut ayat 46 dan lain-lain, meletakkan prinsip-prinsip bagaimana seharusnya seorang muslim memandang dan menghadapi pemeluk agama-agama lain.

Dari keterangan ayat-ayat Alqur’an itu terdapat sedikitnya empat prinsip; yaitu : Pertama, menjauhkan sikap paksaan , tekanan, intimidasi dan yang seumpanya. Islam tidak mengenal tindak kekerasan. Dalam pergaulan dengan pemeluk agama-agama lain harus bersikap toleran/tasamuh. Kedua, Islam memandang pemeluk agama-agamalain, terutama Ahli Kitab memiliki persamaan landasan akidah, yaitu sama-sama mempercayaai Allah Yang Maha Esa.

Islam mengaukui kebenaran dan kesucian Kitab Taurah dan Injil dalam keadaan orisinil/asli. Ketiga, Islam mengulurkan tangan persahabatan terhadap pemeluk agama-agama lain, selama pihak yang bersangkutan tidak menunjukkan sikap bermusuhan dan memerangi.

Keempat, pendekatan/approach terhadap pemeluk agama-agama lain untuk meyakinkan mereka terhadap kebenaran ajaran Islam, haruslah dilakukan dengan diskusi yang baik, sikap sportif dan elegan. Jelaslah bahwa, toleransi dalam Islam itu ada batasbatasnya, ada ketentuan-ketentuan yang berdasarkan hukum menurut al Qur’an dan as Sunnah.

Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan contoh yang jelas dan tegas tatkala beliau diajak oleh orangorang yang tidak beriman/kafir Quraisy untuk melakukan sikap kompromistis, yaitu sehari bersama-sama menyembah Allah, dan pada hari lainnya bersama-sama pula menyembah tuhan-tuhan mereka lata, mana dan uzza-tuhan-tuhan warisan nenek moyang mereka.

Maka pada saat itu Allah menurunkan surah al Kafirun “ Katakanlah (wahai Muhammad) wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah......” dan di ayat terakhir, “ Untuk kamu agama kamu, untuk saya agama saya”.

Karenanya dapat disimpulkan, bahwa mengenai perayaan keagamaan haruslah ditempatkan secara proporsional seperti yang diuaraikan, dan bagi umat Islam harus mampu meyakini dirinya bahwa turut serta dalam merayakan hari Natal atau mengucapkan ‘Selamat Natal dan Tahun baru’ berarti telah mencedrai aqidahnya. Artinya, dengan turut serta dalam upacara kebaktian Natal dan ucapan selamat, secara langsung ia telah mengakui adanya ilah-ilah/tuhan-tuhan lain selain Allah.

Padahal ia telah mengucapkan kalimat syahadat, dan kalimat itu terdiri dari dua frame (bingkai) yaitu; ‘asyhadu’, dan ‘la ilaha illallah’, dankalimat ‘asyhadu’secarabahasadapatbermakna sebagai berikut : 1. Asyhadu sebagai al i’lan, yang bermakna ‘pengumuman, pernyataan (statement), atau proklamasi.

Jika seseorang telah bersyahadat, maka itu artinya, ia telah menyatakan, mengumumkan, atau memproklamirkan dirinya sebagai pemeluk atau penganut Islam yang memiliki tata nilai tertentu. Pernyataan itu menunjukkan adanya penegasan dan perbedaan yang lain dari yang lain.

Jika sebuah negara misalnya, memproklamasikan negaranya, maka sejak itu pula negara itu memiliki lambang negara sendiri, lagu, dan bendera sendiri, batas wilayah dan undang-undang yang diberlakukannya sesuai dengan semangat dan cita-cita yang mendasari proklamasinya.

Demikian juga bila seseorang telah mengucapkan syahadat, pada dasarnya ia telah memproklamirkan dirinya bahwa ia telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, kecuali ikatan kepada Allah SWT, dan ia menjadi seorang muslim, “ isyhadu bianna muslimun“/ saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Q.s.3.a 64.

2. Makna kedua adalah ‘al wa’du’ (janji). Maka apabila seseorang telah bersyahadat, hakikatnya ia sedang berjanji, yaitu, ia berjanji kepada dirinya, bahwa ‘tidak ada tuhan, melaikan Allah’, dan ikarar janji itu pun pernah ia ucapkan ketika di alam rahim. Q.s.7.a. 172.

3. Asyhadu juga bermakna ‘al qasam’ (sumpah), dan ucapan sumpah itu pada dasarnya mempertaruhkan kehormatan diri seseorang tentang apa yang disumpahkannya. Jika seseorang telah mengucapkan kalimat ‘asyhadu an la ilaha illallah’, itu artinya ia sedang mempertaruhkan kehormatan dirinya, bahwa ia memang tidak mengakui adanya tuhan-tuhan lain.

Hanya Allah yang ada dalam dirinya, di hati, di pikiran dan di lidahnya. Dari ketiga pengertian di atas akan membentuk satu makna yang utuh, yaitu bila seseorang yang telah bersyahadat, maka ia adalah orang yang memproklamirkan dirinya sebagai pribadi dengan identitas dan ciri khas untuk membuktikan sumpah dan janjinya yang telah ia ucapkan.

Dan secara otomatis ia pun berbeda dengan golongan agama lain, baik dalam hal niat, perbuatan (amalan), dan tujuan hidupnya. Toleransi beragama di negara kita ini jelas menuntut kejujuran, kebebasan jiwa, kebijaksanaan, dan tanggung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar