Kamis, 07 April 2011

APRESIASI MUSIK
Ketut Sumerjana
Abstrak : Apresiasi musik penting kita butuhkan baik itu tradisional
maupun musik moderen. Musik adalah bahasa dunia yang paling
mudah dipahami dan di dimengerti untuk mencapai ketenagan dan
kedamaian hati pada setiap umat manusia, meskipun ada persoalanpersoalan
yang sangat beragam untuk cara pandang seseorang

khususnya mengenai mengapresiasi musik dan kehidupan alam
sekliling kita, itu merupakan persoalan tersendiri. Untuk itu kami
mencoba mengamati fenomena tersebut dengan memberikan
informasi Apresiasi kepada masyarakat khususnya Apresiasi Musik.
Kata Kunci : Apresiasi Musik secara Umum dan Khusus
I. Pendahuluan
Satu-satunya yang dapat menggantikan kedudukan cinta adalah
seni / art, karena seni menembus hati seperti diibaratkan cinta. Cinta
juga menyingkapkan diri kita yang dalam, membawa kita pada saatsaat
yang abadi dan berbobot, kadang juga memperlihatkan pada
rahasia kita sendiri. Dan apa yang diciptakan manusia berupa seni
yang abadi, menunjukan bahwa dia mengandung benih keabadian di
dalam dirinya. Dan apa yang dihidupinya berupa saat-saat abadi,
menunjukan ia mengandung keabadian dalam hatinya. Dengan
segenap rendah hati izinkanlah penulis untuk menyampaikan bahwa
tulisan ini bukanlah lahir dari perenungan sendiri, melainkan sekedar
perpindahan materi dari global ke materi yang lebih kecil, sebagai
upaya pengenalan tentang sebuah hakekat suatu makna Apresiasi Seni
pada umumnya dan Apresiasi Musik pada khususnya.
Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam hal,
diantaranya adalah pengalaman kehidupan manusiannya itu sendiri.
Pengalaman antara satu orang dengan lainnya tidak sama. Jika sebuah
musik disuguhkan kepada beberapa orang maka kesan yang diterima
diantara sesama penikmat tidaklah sama, ada sebagian dari mereka
1
yang hanya mempunyai kesan sedikit, ada yang lumayan dan ada juga
yang menerima kesan cukup banyak dari suguhan musik tersenbut.
Meski di era globalisem ini orang dapat mengatakan bahwa
dikotomi/pemisahan mendua Barat dan Timur sudah tidak diperlukan
lagi, bagi ilmu, lebih-lebih dalam hal kesejarahan, akan tetapi
dikotomi itu tetap perlu. Ada beberapa definisi tentang musik. Rene
Sedillot, sejarahwan Prancis telah menemukan definisi terutama
tentang musik dari China kuno, yang menyatakan bahwa musik adalah
seni yang mengungkapkan persatuan surga dan bumi, definisi ini telah
ada sejak 3500 SM (Sedillot 1959 : 34, kutipan jurnal FX Suhardjo
Parto)
Definisi ini pada prakteknya didukung oleh kepercayaan ras
Mongol, yang terdiri dari ras yang utama : 1) Asiatika di wilayah Asia
Timur Kuno, termasuk Jepang; 2) Melayu-Indonesia yang tersebar di
wilayah Asia Tengah-Tenggara, Yunani di China, Myanmar,
Siam/Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Melayu,
Kepulauan Asia Tenggara, yang mencakup ; Singapura, paroan barat
Nusantara dengan batas timur di Sulawesi dan kepulauan Filipina; 3)
ras Indian Amerika (Beals and Hoijer 1959 : 182), kepercayaan kuno
yang dimaksud itu adalah shamanismel tradisi pemujaan arwah
leluhur di ”permainan” jalangkung, tradisi trance / kerasukan dalam
pertunjukan kuda kepang / lumping atau di Bali disebut dengan Tari
Sanghyang Jaran, pemberian sesaji secara teratur pada hari-hari
tertentu dengan bunga-bunga/kembang pada pusaka, praktek gunaguna,
dsb. Musik shamanisme ini adalah musik ritme yang perkusif,
dengan instrumen pokok ; gendang, gong dalam berbagai ukuran dan
kecrek (Eliade 1974 : 179, kutipan jurnal FX Suhardjo Parto)
Ott’o K’arolyi, juga membuat definisi musik di dunia barat
yang berbunyi bahwa musik adalah seni dan sekaligus ilmu, dan oleh
karena itu ia harus diapresiasikan secara emisional dan dipahami
secara intelektual (karolyi 1979 : 9, kutipan jurnal FX Suhardjo Parto).
Definisi ini memiliki akar dari tradisi kultural Yunani sejak masa
Pythagoras (sekitar 582 –500 SM) yang memakai istilah lyre,
instrumen petik lyre (yang sekarang disebut dengan alat musik gitar)
sebagai alat untuk menentukan atas dasar perbandingan dawaidawainya
(Kline 1070 : 326)
2
II. Apresiasi Musik
Pengalaman musikal manusia beraneka ragam dan sejauh ini
tidak ada yang memiliki pengalaman yang persis sama (Hugh M.
Miller. 1958 : 1). Yang jelas adalah berwarna manusia tidak dapat
menghindar dari pengalaman musikal, dengan demikian bisa
dikatakan bahwa mungkin musik merupakan sumberdaya berharga
dari sekian banyak pengalaman manusia. Jika seseorang menyadari
arti penting yang potensial dari musik dalam kehidupannya, biasanya
seseorang tersebut akan berhasrat untuk menjadikan pengalaman
musikal tersebut lebih berharga lagi.
Dengan adanya bermacam-macam jenis musik, maka
pengalaman musikal yang diterima umat manusiapun beraneka ragam
pula. Tingkat pengalaman musikal seseorang inilah yang akan
menentukan seberapa jauh tingkat apresiasi seseorang terhadap musik.
Hal lain yang menentukan tingkat apresiasi musik seseorang juga
ditentukan dengan usaha secara sadar dalam latihan mendengarkan
musik secara penuh pengertian. Sebab yang perlu diingat adalah
bahwa kegiatan apresiasi musik bernilai tinggi tidaklah mudah untuk
mengapainya.
Istilah apresiasi berasal dari trimologi Ingris, yakni appreciate
yang berarti menghargai (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1989 :
35). Jadi apresiasi musik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk
memahami musik dengan jalan menghargainya. Secara umum dapat
dikatakan bahwa setiap hasil penciptaan karya seni merupakan suatu
bukti nyata fisikal (physical evidence), terbentuk dari suatu proses
pemikiran serta usaha seniman dalam berolah seni. Dalam apresiasi
mau tidak mau berkaitan dengan pengkajian seni itu sendiri sebagai
suatu substansi fenomena fisik yang primair (primary document).
Pemunculan sebuah komposisi sebagai suatu substansi fisik
yang kasat mata dengan spesifikasi tersendiri, memberikan keluasan
pengkajian yang disesuaikan dengan disiplin penikmat yang ada, dan
disejajarkan dengan kaidah dari jenis karya seni. Selanjutnya
kesetaraan penikmat seni dengan bunyi yang dikaji, dapat
memberikan peluang adanya suatu premis terhadap keterkaitan antara
komposisi seni musik dengan penikmatnya. Kondisi seperti ini dapat
ditelaah lebih dalam lagi dengan berbagai segi dan cara pandang
tertentu yang di antaranya adalah : estetik, artistik, form, irama dan
lain sebagainya.
3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah apresiasi
mempunyai arti : kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya dan
penilaian/penghargaan terhadap sesuatu (Anton Moelino, 1989 : 41).
Dengan berlandaskan pada keterangan tersebut dapatlah kiranya
ditarik suatu benang merah antara istilah apresiasi dan apresiasi
musik. Karena dalam apresiasi diperlukan adanya kesadaran terhadap
nilai-nilai seni, sudah sewajarnya bila didalam apresiasi musik juga
diperlukan adanya kesetaraan nilai-nilai seni dalam disiplin seni
musik. Penginderaan tentang kesadaran nilai-nilai seni musik dapat
dengan menggunakan pendekatan musikologi untuk mengetahui bobot
kesadaran yang dimilikinya.
Musikologi merupakan terjemahan dalam Bahasa Ingris
musicology, istilah ini berangkat dari terminologi Prancis yakni
musicology, hal ini sejalan dengan istilah Jerman abad 19
musikwissenschaft. Istilah ini dianggap paling tepat untuk
menggambarkan suatu disiplin yang membahas tentang pengetahuan
serta penelitian dari semua aspek tentang musik. Awal dari rentangan
musikologi sangat luas, yakni dari sejarah musik barat hingga
taksonomi musik primitif, dari akusti ke estetika, dari harmoni dan
kontrapung hingga pedagogi piano. Elaborasi tentang katagori
musikologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan banyak
bermunculan, dimulai dari formula Hugos Riesman dan Guido Adler
pada abad 19, sampai pada Charles Seeger, seorang plopor
Ethnomusikologi Amerika moderen yang berasil menerbitkan
formulasi tentang klasifikasi musik secara komprehensif.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama sebagai tujuan
akademik, rentangan musikologi menjadi lebih terbatas kepada
pengertian akan studi tentang sejarah musik seni di barat. Butir sajian
musikologi secara akademik meliputi pembahasan tentang : Musik
Renaisance, Simfony, gaya Musik JS. Bach, Beethoven dan
Belabartok. Secara singkat, musikologi dianggap berkaitan dengan
musik melalui hal yang factual, bersifat dokumenter, positifistik serta
dapat diverifikasikan dan dianalisis. Dengan demikian musikologi
tidak dibatasi pada perngertian tentang butir sajian itu sendiri,
melainkan juga pada pendekatannya terhadap butir sajian tersebut
(Victor Ganap, 1994 : 5).
Sebagai bahan perbandingan dalam memahami apresiasi kita
menengok apresiasi dalam bidang sastra. Menurut Ensiklopedi
Nasional Indonesia, apresiasi sastra adalah suatu kemapuan untuk
4
menikmati, menghargai dan menilai suatu karya sastra dan secara teori
apresiasi sastra bertahap-tahap atau bertingkat (Ensiklopedi Nasional
Indonesia, jilid 2, 1988 : 204).
Tahapan yang ada terbagi dalam tiga macam : tahap awal,
adalah tahap dimana membahas tentang keterlibatan jiwa ketika
pembaca mulai memikirkan, merasakan dan membayangkan hal-hal
yang dirasakan sastrawan pada saat mencipta.
Pada tahap kedua, dengan menggunakan pikiran maupun
konsep-konsep sastra yang pernah dipelajarinya. Tahapan ini juga
disebut dengan tahapan apresiasi kritik atau intlektual. Penelaahan
suatu karya sastra tidak mungkin sempurna tanpa latar belakang
pengetahuan tentang disiplin sastra itu sendiri. Bagi mereka yang latar
belakang pengetahuan bidang sastranya jauh dari cukup, biasanya
penserapan karya sastra dalam tahapan ini mengalami tingkat apresiasi
pada tahapan berikutnya.
Tahapan terakhir dimulai dari saat penikmat menghubungkan
pengalaman pribadi yang dia proleh dari karya sastra yang
diketahuinya pada kehidupan umum. Pada tahap ini, karya sastra yang
diapresiasikan dicermati dengan melihat sejarah perkembagan sastra.
Dengan demikian karya sastra yang diapresiasikan dapat diketaui
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya karya sastra itu
dapat ditentukan dengan lebih seksama dan lebih teliti. Pada tahap
terakhir ini, tentu saja belum merupakan tahap tertinggi, terlebih bagi
sarjana sastra yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang sastra
(Ibid)
Istilah apresiasi musikal lebih muncul dan diterima oleh
masyarakat umum, seiring dengan perjalanan waktu dan dalam
texsbook dijelaskan sebagai suatu bentuk desain training pendidikan
untuk mengusahakan agar kemampuan murid dalam mendengar,
dapat memahami secara serius tanpa kebingungan. Selain itu juga
dimaksudkan dapat mendengarkan dengan baik periode-periode yang
berbeda dari musik dalam tingkat-tingkat kompleksitas. (Oxford
Dictionary of Music Univ. Press, London, : 27)
Sejarah apresiasi musik sebagai sebuah subyek di dalam
kursus pendidikan ditulis dengan judul Music – the Child and the
Masterpiece pada tahun 1935 ; buku tersebut dalam edisi Amer
disebut Apreciation – it’s History and Technics.
Fakta dari eksistensi seni mendengarkan ini (art of listening),
pertama kalinya secara jelas diketahui bahwa Nageli dari Zurich sudah
5
melakukan kegiatan tersebut secara amatir. Dan dalam tahun 1829
buku yang digunakan telah diterbitkan oleh seorang musikolog besar
Fetis. Pada tahun 1829 Fetis pergi ke London untuk memberikan
pengajaran tentang La Musique mise a la portee de tout le mande
(menanamkan musik dalam jangkauan setiap orang). Tahun 1930
Fetis menerbitkan buku dengan title yang sama dan diketahui sudah
diterjemahkan dalam beberapa bahasa dan dalam 19 edisi. (Ibid, : 28)
Eksperimentasi nyata dari cara mengajar seperti yang
dilakukan Fetis mulai berkembang secara simultan di Inggris dan
Amerika. Istilah memahami dan menghargai (appreciate and
appreciation) dalam aplikasi musikal pertama kali digunakan di
Amerika. Tahun 1906 diterbitkan buku How to Appreciate Music oleh
Gustav Kobbe dan tahun 1907 T.W Surette dan D.G Mason
menerbitkan The Appreciation of Music. Ide ‘apresiatif’ telah
menyebar hingga ke Negara-negara di luar Amerika dan Inggris,
dengan fasilitas yang lebih memadai. (Ibid)
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa apresiasi musik adalah suatu usaha peningkatan kemampuan
untuk mendengarkan musik dengan penuh pengertian. Meningkatkan
apresiasi musik secara nisbi adalah adanya usaha secara sadar dan
merupakan suatu keharusan yang dituntut sepanjang waktu dalam
latihan mendengarkan musik secara penuh pengertian. Permasalahan
yang muncul adalah dengan cara apa manusia mencapai kemampuan
mendengarkan musik dengan penuh pengertian…?
Proses apresiasi tidak terlepas dari latar belakang pengetahuan
yang dimiliki oleh pelaku-pelaku apresiasi, jika yang dijadikan obyek
apresiasi dalam musik, maka lancarnya suatu apresiasi tergantung
pada latar belakang pengetahuan musikalnya. Hal ini tidak berarti
hanya pengetahuan umum dengan pengenalan sejumlah literatur
musik saja, tetapi juga pengetahuan tentang musik dengan segala
term-term nya.
Latar belakang pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua
bagian yakni latar belakang umum dan khusus. Yang dimaksud
dengan latar belakang umum adalah keseluruhan pengalaman musikal
yang berhubungan dengan latar belakang musikal secara umum,
seperti ; mendatangi konser-konser musik, melihat sajian musik di
televisi, video maupun laser disk, mendengarkan musik melalui radio
atau alat audio lain, terjun dalam kegiatan berolah musik vokal
maupun instrumen. Latar belakang umum juga termasuk belajar musik
6
secara formal dengan materi-materi pelajaran musik, membaca
biografi dan buku sejarah musik serta memplajari/mengetahui seluk
beluk teori musik (harmony, silfegio, bentuk orchestrasi dll.)
Dalam latar belakang khusus ditambah lagi dengan memplajari
karya-karya yang bersifat individual. Sesuatu yang didapat berkat
mempelajari sebuah komposisi yang khusus diciptakan dengan latar
belakang yang khusus pula, maka kekhususan yang ada akan menjadi
umpan balik bagi apresiator dalam peningkatan apresiasinya. Latar
belakang yang bersifat informative ini termasuk misalnya ; analisis
bentuk sebuah komposisi, gaya, jati diri komposer serta hal ikwal
mengenai sebuah komposisi (waktu penulisan, proses penulisan,
situasi dan kondisi yang melingkupinya, untuk tujuan apa dan
gagasan-gagasan apa yang ada di benak komponisnya). Butir-butir
dalam latar belakang khusus bisa diproleh dengan jalan membaca
refrensi dari bermacam sumber ataupun dengan mendengarkan musik
itu sendiri. (Hugh M. Miller op. cit., : 10)
Pendekatan yang digunakan dalam proses apresiasi adalah
pendekatan yang bersifat auditori dan pendekatan secara visual.
Pendekatan auditori yang sering juga disebut pendekatan auditif
secara simpel dapat diartikan mempelajari musik dengan cara
mendengarkannya. Hal itu sejalan dengan hakekat dari musik itu
sendiri yang merupakan kesenian auditif, maksudnya sebuah seni
yang bergerak dalam waktu melalui medium bunyi. Dengan demikian
kegiatan apresiasi musik tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan
auditori.Dalam pendekatan visual, aspek yang penting adalah
pengembangan seoptimal mungkin daya apresiasi, contoh ;
mengembangkan kemampuan mengikuti partitur sementara musik
dibunyikan. Dengan melakukan kegiatan tersebut, hal-hal yang tidak
tertangkap teling dapat dilengkapi oleh penglihatan. Di dalam musik
aspek visual yang berlebihan dibanding aspek auditif dianggap kurang
bermanfaat, misalnya suatu kebiasaan wajar untuk melihat pemain.
Kondisi seperti ini hanyalah berlaku dalam sajian audio visual
sedanglan secara audio hal ini tidak berlaku. (Ibid, : 11)
Seperti sudah diketahui bersama, bahwa proses apresiasi
tidaklah semudah seperti yang dibayangkan. Munculnya hambatan
dalam proses apresiasi sering sekali dianggap sebagai tingkat kesulitan
yang dilebih-lebihkan. Untuk mencermati hal itu dengan kesadaran
7
sepenuhnya, perlu kiranya diketahui hambatan-hambatan umum yang
sering terjadi dalam proses apresiasi musik.
Hambatan yang paling utama dalam proses apresiatif adalah
kesulitan mendengarkan secara aktif, yang dimaksud di sini adalah
bahwa persepsi terhadap seni yang didasarkan atas bunyi fisik, dalam
menangkapnya dituntut suatu usaha khusus, hal ini perlu dilakukan
karena seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tidak semua hal dapat
dijangkau oleh telinga manusia. Untuk mnunjang keberasilan suatu
apresiasi musik, perlu dihindarkan cara mendengarkan yang bersifat
pasif. Hambatan lainya adalah kurangnya bekal musikal yang
melatarbelakangi. Dengan rendahnya pengetahuan tentang
pengetahuan musikal, maka dalam mendengarkan secara apresiatif
akan terdapat rangkaian-rangkaian elemen musikal rumit tidak akan
teruraikan dengan jelas. Apabila dalam kegiatan apresiatif terhadap
hambatan-hambatan seperti tersebut di atas, penilaian menurut
konteks beserta batasan-batasan akan mengalami penurunan.
Dalam meplajari sebuah lukisan, patung ataupun bangunan
dapat dilakukan berulang kali dan diplajari hingga ke detailnya,
namun dalam mendengarkan musik yang sedang dimainkan hal itu
kecil sekali kemungkinannya dilakukan. Pencermatan peristiwa musik
adalah sesaat dan sedemikian cepat berlalu, padahal apresiator masih
harus menghubungkan sesuatu yang telah berlalu dengan apa yang
terdengar berikutnya. Untuk mengatasi keadaan seperti itu perlu
dikembangkan ingatan musikal, sebab akan membantu dalam kegiatan
apresiasi musik. (The New Harvard Dictionary of Music, 1986 : 519)
III. Kesimpulan
Dari uraian di atas, kiranya dapat kita simpulkan bahwa Apresiasi
Musik di era- globalisasi ini merupakan suatu butuhkan dan sekaligus
sebagai pembelajaran kita untuk menghargai/penghargaan sesuatu.
Yang paling sederhana yang kita contohkan adalah menghargai diri
kita sendiri dulu. Sehingga ada timbul pertanyaan pada diri kita,
”sudahkah kita menghargai diri kita sendiri?” ini merupakan suatu
pertanyaan gampang-gamapang susah untuk kita jawab, yang tahu
jawaban tersebut adalah diri kita juga. Apalagi kita sebagai pelaku
seni atau pekerja seni, apresiasi adalah merupakan suatu keharusan
dan kebutuhan yang penting untuk proses hidup kita selanjutnya.
Apresiasi sangat luas maknanya, dan tidak di bidang seni saja
melainkan juga di bidang lainya seperti ; sosial, budaya, religius, dan
8
masih banyak lagi sekeliling kita yang perlu di cermati untuk
diapresiasi. Disamping itu juga dengan mengapresiasi keanekaragam
budaya di Indonesia misalnya, ini merupakan salah satu usaha untuk
pelestarian yang dapat mewujudkan cita-cita Persatuan dan Kesatuan
Bangsa dimana merupakan salah satu misi Bangsa Indonesia.
Apresiasi bisa disebut juga merupakan suatu usaha untuk pelestarian
budaya, persatuan umat, dan mencegah adanya disitegrasi Bangsa
khususnya di negri tercinta ini, karena melihat dunia yang global ini
tentunya semakin banyak pula refrensi yang kita dapat untuk
memaknai hidup yang sebenarnya.
Daftar Rujukan
1. Hugh M. Miller, Introduction to Music a Guide to Good
Listening, Barnes & Noble Inc., New mexico, 1958.
2. Johan M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris –
Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1984.
3. Victor Ganap, Gaya Romantisme Brahms dan Schubert
sebagai Butir Sajian dalam Pengkajian Musikologi di
Perguruan Tinggi, ISI Yogyakarta, 1994.
4. Don Michael Randel, Harvard Concise Dictionary of Music,
The Belknap Press of Harvard Univ. Press, London, 1975.
5. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 2 , PT. Cipta Adi Pustaka,
Jakarta. 1988.
6. Percy A. Scholes, The Consise Oxford Dictionary of Music,
Oxford Univ. Press, London.
7. F.X. Suhardjo Parto, Praktisi dan Teori Dalam Musik, Jurnal
no 3 ISI Yogyakarta, 1995.
8. Y Edhi Susilo, Apresiasi Musik Pendidikan, Jurnal no 4 ISI
Yogyakarta, 1996.
9. Don Michael Randel, The New Harvard Dictionary of Music,
The Belknap Press of Harvard Univ. Press, London, 1986.
10. Anton Moelino, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka
Jakarta, 1989.
Penulis : Ketut Sumerjana
9
Lahir di Sangsit, Singaraja Pada Tanggal 14 Pebruari 1974,
tahun 1990 belajar di Sekolah Menengah Musik Negeri Denpasar
(SMM) sebagai angkatan ke-3 dan tamat tahun 1994, setelah tamat
SMMN Denpasar melanjutkan ke Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta Jurusan Seni Musik dengan minat utama Musik Sekolah
(MS), wisuda tahun 1999. Semenjak tahun 2001 diangkat sebagai staf
pengajar pada Jurusan Seni Karawitan STSI Denpasar dan kini
sekarang berubah nama menjadi Institut Seni Indonesia (ISI)
Denpasar. Disamping itu juga aktif dalam pembinaan seni musik dan
mengarap lagu Pop Bali maupun Festival Musik Jazz dengan bentuk
garapan instrumentalia dengan penyajian musik kolaborasi pada ajang
festival lagu Pop Bali dalam Pesta Kesenian Bali (PKB), Jak Jazz
Festival tahun 2003, Bali Jazz Forum tahun 2005, Nusa Dua Jazz
Festival 2006, Bamboo Music Festival di Jakarta dan konser tunggal
di Gedung Kesenian Jakarta bersama dengan gerup Jas Fusion (musik
kolaborasi) pada tahun 2007. Membuat karya iringan musik ” Prosesi
Penyatuan Kampus FSRD UNUD menjadi Institut Seni Indonesia
(ISI) Denpasar” dalam rangka Gelar Seni Wisuda I Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar, 17 Maret 2004 di ISI Denpasar. Membuat
karya musik ”Denpasar Kota Budaya” yang dipublikasikan dalam
Festival Lagu Pop Daerah Bali pada PKB XXVI dan XXVII di Taman
Budaya Denpasar (Art Centere), 21 Juni 2004 dan 20 Juni 2005.
Membuat iringan Tehkno Music dalam karya ”Gagal Gaul” karya
bersama dengan Tari dan Musik, Membuat iringan musik dan sound
efeck multi media dalam karya garapan ISI Denpasar dalam setiap
event pengabdian di masyarakat dari tahun 2006 dan 2007. Disamping
itu juga pengabdian masyarakat, diantaranya memberi pelayanan
kepada masyarakat sebagai Pembina Paduan Suara Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar tahun 2004
sampai sekarang, sebagai koordinator Koor Paduan Suara Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar pada HUT - KORPRI Ke - 33 di Renon
Denpasar pada 29 Nop 2004. Juga sebagai koordinator grup Band
untuk pegawai dan dosen di lingkunagn Kampus Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar